Sejenak mengkaji diri


Akhirnya setelah sekian lama, bisa nulis lagi di blog ini. terakhir posting sekitar akhir tahun 2014, sekarang tak terasa sudah tahun 2016. sudah lama sekali blog ini ditinggal. 
bukan tanpa alasan blog ini saya tinggal, terakhir posting lagi sibuk-sibuknya menyiapkan pernikahan, habis nikah rencananya mau aktif lagi tapi malah sibuk sana - sini, punya kesibukan yang baru, adaptasi dengan aktifitas baru.

Cerita sedikit tentang pernikahan. bagi sebagian orang, baik itu perempuan ataupun laki-laki pernikahan dianggap sebagai hal yang menakutkan,
mungkin karena bayangan mereka nikah itu ribet, harus menyatukan dua pemikiran dalam satu visi. belum nikah sudah terbayang ribetnya. kebebasan yang berkurang, berbagi segala hal sama pasangan, bingung mau dibawa kemana nanti arah rumahtangganya. belum lagi kalau ternyata nanti pasangan kita tidak seperti apa yang kita impikan.

Saya sendiri juga mengalami hal tersebut. takut dan bingung terus jadi bayang-bayang. namun suatu saat saya teringat akan dua hal dari dua orang yang saya kenal. satu dosen saya, satu lagi teman saya.
satu mengenai pasangan hidup, satu lagi mengenai rezeki.

Pada saat termenung bingung karena pacar saya minta cepat-cepat dinikahi, tiba - tiba ada pertanyaan datang "apakah benar dia jodohku? bukan yang lain? bagaimana meneguhkan hati untuk memilih dia?". mungkin kebanyakan orang merasakan hal yang sama. saat pacaran begitu yakin dengan dia, ketika diminta lanjut ke jenjang pernikahan tiba-tiba keyakinan itu memudar. seolah belum puas mengejar kriteria pasangan impian yang sempurna.

Saat mengalami kebimbangan itu tiba-tiba saya teringat ucapan dosen saya sewaktu kuliah dulu. disela-sela belajar matematika diskret beliau menjelaskan mengenai kiat memilih pasangan. menurut beliau, tak ada pasangan yang sempurna, kita tidak akan mendapatkan pasangan yang sempurna sesuai impian kita. kitalah yang harusnya melengkapi pasangan kita. jika kita misalnya punya 5 kriteria pasangan ideal menurut impian kita, tidak mungkin kesemuanya ada dalam diri satu orang. yang harus kita lakukan adalah mencari 2 atau 3 kriteria prioritas, sisanya kita arahkan pasangan kita agar bisa memenuhi kriteria yang tersisa. kitalah yang membuat sempurna. karena kalau hanya menunggu mendapatkan yang sempurna tidak akan pernah cukup waktu untuk menunggunya. inti dari memilih pasangan hidup itu ya begitu, kita yang menentukan, kita yang melengkapi, kita yang membuat sempurna. bukan menunggu yang sempurna datang menghampiri kita. 

Singkat kata, setelah teringat ucapan dari dosen saya itu akhirnya keyakinan saya kembali, saya memutuskan untuk maju ke jenjang pernikahan, namun ada hal lain yang mengganjal, yaitu kemapanan. bagi kebanyakan laki-laki kata kemapanan mungkin jadi menakutkan ketika hendak melanjutkan ke jenjang pernikahan. saya termasuk salah satunya. definisi mapan berbeda-beda menurut pemahaman masing-masing. Tapi menurut kebanyakan orang, mapan itu setidaknya punya pekerjaan tetap untuk nanti menafkahi keluarga. namun pekerjaan tetap saja tidak cukup, nominal gaji yang jadi ukuran. kita adalah manusia yang penuh perhitungan matematika, jika tidak ada hitungannya maka tidak bisa. padahal hitungan rezeki tidak sama dengan hitungan matematis. 

Saya termasuk orang yang penuh hitungan matematis. sebelum melanjutkan ke jenjang pernikahan, harus dihitung dulu, biaya pernikahan, biaya hidup nanti saat menjalani kehidupan berumah tangga. sampai pada akhirnya ada teman saya yang sudah lebih dulu menikah menjelaskan mengenai rezeki orang yang berniat menjalani pernikahan atas dasar ibadah, bukan atas dasar yang lain. menurut dia, rezeki itu urusan Allah, kita tidak berhak mendikte tuhan mengenai rezeki, Allah bisa memberikan rezeki bahkan dari jalan yang tidak pernah kita sangka-sangka. rezeki itu ibarat ASI. Allah telah menyiapkan ASI untuk setiap bayi yang lahir. namun ASI tidak akan keluar kecuali setelah ada persalinan. Percayalah bahwa Allah telah menyiapkan rezeki untuk orang yang menjalani kehidupan berumah tangga, namun Allah tidak akan menurunkannya sebelum dia menjalani pernikahan dengan niat ibadah karena Allah. percayalah dengan kita memantapkan hati untuk menikah, maka rezeki akan Allah turunkan untuk kita. sama seperti keluarnya ASI setelah adanya persalinan. hitung-hitungan rezeki Allah itu tidak sama dengan hitung-hitungan matematis. 

Akhirnya setelah melalui pertimbangan yang panjang, sayapun memberanikan diri untuk melanjutkan hidup kejenjang pernikahan, mengarungi lautan hidup dengan bahtera rumah tangga. tak mudah memang, namun kebahagiaan itu sederhana, kebahagiaan itu ada pada diri kita, kita  harus menciptakannya dari kehidupan kita bukan mencarinya dari kehidupan orang lain.

Rezeki itu Allah yang menentukan, kita tidak bisa mendikte tuhan mengenai rezeki, yang harus kita lakukan adalah mempersiapkan diri menjadi orang yang pantas menerima rezeki dari Allah. niatkanlah dalam hati bahwa pernikahan itu adalah ibadah, bukan karena malu sama teman-teman yang sudah lebih dulu menikah, bukan karena ingin menyombongkan kemapanan, bukan karena ingin memamerkan pasangan. 

Bagi yang berniat menikah, jangan terpasung mencari kriteria pasangan impian, jangan tertahan karena mengejar kemapanan. niatkan dalam diri menikah untuk ibadah.






Komentar

Postingan Populer